Kamis, 09 April 2009

Kyoo ni Dake (Hanya Hari Ini)
oleh:Patria Yusmirza Pratama
“Tadaima (Saya pulang)” seru suara diluar.
Seorang anak lelaki berumur lima tahun yang sedang duduk didepan televisi tersentak, sejenak ia terdiam namun setelah ia mendengar suara bel sepeda yang amat ia kenali anak itu berlari menuju ruang depan untuk menyambut orang yang baru datang itu. Ia berlari sepanjang lorong rumahnya yang panjang dengan penuh semangat dan wajah yang ceria, sebab ia tahu itu suara sepeda siapa.
Sesampainya didepan pintu dengan penuh harap ia membuka pintu itu sambil berteriak kencang,
“OKAERI! (SELAMAT DATANG DIRUMAH!)” pekiknya dengan girang.
Tetapi kebahagiannya sirna saat itu juga saat ia melihat sosok yang berdiri didepannya sambil menenteng sepeda yang amat ia kenali, sepeda kakak lelakinya.
“Siang Masaru, kau kelihatan senang ya?” sapa gadis yang membawa sepeda itu.
Anak lelaki tadi bernama Masaru, ia tak lagi tampak bahagia, ia bahkan menyembunyikan sebagian wajahnya dibalik daun pintu yang digenggamnya erat.
“Bukan kak Saku ya?” bisiknya sesenggukkan.
“Ma… Masaru…” desah gadis itu.
Gadis itu lalu mendekati Masaru dan berjongkok didepannya, dapat dilihatnya air mata Masaru mulai menetes mengalir melewati wajah bulatnya yang lugu, seperti halnya dirinya yang hampir tak mampu membendung air matanya sendiri saat mendengar nama Sakuhiro disebut oleh Masaru.
Tak lama ibunya Masaru tiba dirumah, melihat ibunya, Masaru berlari kedalam rumah namun ibunya dan gadis itu seperti tak dapat menghentikan Masaru.
“Aki-chan, selamat siang” sapa ibunya Masaru.
“Selamat siang, Megumi-san” balas gadis bernama Aki itu.
“Apa Masaru melihatmu membawa sepeda itu lagi?” tanya Megumi-san.
Aki hanya mengangguk menanggapinya dengan wajah sedih, Megumi-san hanya tersenyum dan meraih pundak Aki untuk mengajaknya masuk. Merekapun masuk setelah Aki menyandarkan sepeda milik Sakuhiro disamping rumah. Mereka kini duduk diruang tamu yang sunyi walau samar- samar terdengar Masaru yang sedang menangis dilantai dua rumah itu di kamar milik Sakuhiro tampaknya.
Aki hanya tertunduk diam sama halnya Megumi-san, menunggu dengan sabar hingga Masaru berhenti menangis. Dan akhirnya, setelah kira- kira dua puluh menit suara Masaru tak terdengar lagi, mungkin ia sudah tertidur.
“Pasti berat bagi Masaru…” desah Megumi-san memecah keheningan.
“Bagi sayapun begitu…” balas Aki pelan dengan nada getir yang dipaksakann normal namun matanya yang berkaca- kaca tak dapat membohongi Megumi-san.
“Masaru sering begitu selama seminggu ini… Sejak hari itu, ia terus ingin ada di rumah, menanti Sakuhiro pulang dari balik pintu itu…” kenang Megumi-san sambil menatapi pintu masuk yang masih sedikit terbuka.
“Saya paham perasaan Masaru…” desah Aki,”…Seandainya saya saja dan bukan Saku… Saya bahkan tak tahu lagi mana yang benar dalam hidup saya setelah hari itu” Aki mulai menangis pelan,”…Harusnya tak saya bunyikan bel sepeda itu… Tetapi, tadi itu saya teringat akan Saku, setiap kayuhan sepeda itu mengingatkan akan apa yang saya dan Saku telah alami bersama… Bahkan satu bunyi singkat bel itu seakan membawa Saku kembali di dunia ini…” aku Aki.
“Mungkin Masaru pun merasa demikian” ujar Megumi-san mencoba menenangkan Aki.
Megumi-san berdiri dan duduk disamping Aki sambil membelainya.
“Sampai selasa yang lalu Saku masih bersama kita… Tetapi kenapa harus dia?” bisik Aki yang menangis dalam pelukkan Megumi-san.
“Hirose Aki…” desah Megumi-san,”…Tak ada yang bisa menebak kehendak Yang Kuasa, ibu rasa… Saku pun menyadari hal itu ketika ia divonis mengidap Leukimia” bisik Megumi-san.
Sejenak terlintas dibenak Aki tentang apa yang dialaminya selasa lalu, ia yang bersepeda bersama Sakuhiro mengelilingi pantai Osaka dipenghujung musim panas menyambut musim gugur. Sosok Saku yang melepaskan tawa terakhirnya sedang membonceng dirinya di sepeda dengan bel yang terus dibunyikan oleh Aki. Hingga akhirnya, merekapun terjatuh setelah suara Saku tiba- tiba menghilang. Aki mendapati tubuh anak lelaki yang menjadi kekasih hatinya itu terbujur diatas pasir pantai putih dan ditindih oleh sepedanya sendiri. Semua berjalan cepat, hingga mereka di rumah sakit, semua disana, keluarga Sakuhiro dan keluarga Hirose, keluarga Aki. Dan setelah beberapa jam berlalu, dokter yang menangani Saku membawa kabar yang amat mengguncang, bahwa mereka telah berusaha sedapatnya namun Saku telah sampai pada batasnya, mereka hanya bisa meratapi apa yang terjadi, Megumi-san bahkan pingsan setelah mengetahui anak lelaki pertamanya tak akan pulang lagi bahkan untuk sekedar makan malam bersama ia dan adiknya, Saku telah meninggalkan dunia ini karena penyakit Leukimianya.
“Aki… Kau baik- baik saja, nak?” panggil Megumi-san pelan.
Aki tersentak, wajahnya merah dengan air mata membasahi wajah manisnya. Megumi-san kembali memeluknya dan ikut menangis.
Sementara itu, Masaru yang tertidur terbawa kedalam kenangan yang tak ingin dipercayainya. Ia berdiri diantara banyak orang dengan setelan hitam, ibunya terisak memeluk dirinya yang terpaku menatap batu besar dengan tulisan ‘Yuuji Sakuhiro’ dan dikelilingi dua guci yang dupanya masih panjang- panjang. Masaru tak menangis, ia tak henti- hentinya berbisik ‘Kakak cepat pulang, ibu menagis’.
Kakak tidak meninggal…

Saru…
…Masaru…
Perlahan mata Masaru terbuka setelah mendengar suara yang memanggilnya, ia mengenali suara ini, namun rasa ragu kembali melanda setelah kejadian tadi ia tak ingin kecewa lagi ketika ia membuka matanya dan ia tidak menemukan sosok yang dinantinya.
Ia beranikan dirinya untuk membuka matanya,
“Masaru…” panggil suara itu.
Butuh waktu bagi mata kantuknya untuk menyesuaikan antara mimpi saat ia tertidur dengan dunia yang akan dilihatnya sekarang. Akhirnya, setelah ia benar- benar terbangun ia tersentak, kaget dan senang bercampur aduk.

Sesosok anak lelaki yang amat dikenalnya, berambut pendek warna hitam cerah, mata hangat yang ia nantikan, hidung dengan bintik- bintik merah kecil khan sosok itu, wajah yang hangat, tegar dan bersahaja, benar- benar persis dengan ingatannya kali terakhir ia melihat sosok ini lengkap dengan setelan baju T-shirt hijau les kuning dan celana kainnya yang berwarna krem.
“Kak Saku? Kak Saku khan?” tanyanya dengan polos sambil mengucek matanya.
“Lho, kok pertanyaannya begitu? Iya ini kakak memangnya siapa lagi?” balas sosok itu.
Masaru tersenyum merekah lalu memeluk erat sosok itu dan ia berteriak kegirangan walau suaranya teredam karena ia memeluk sosok itu.
“OKAERI, OKAERI NII-SAN! (SELAMAT PULANG, SELAMAT PULANG KAKAK!)” sergahnya.
“Masaru… Memangnya kakak kemana?” tanya sosok itu pelan.
Masaru mengendurkan pelukkannya, ia menatap sosok itu dengan wajah lugunya.
“Kak Saku khan… Eh… Nggak! Nggak jadi!”
Sosok itu hanya tersenyum kecil menatap Masaru yang tampaknya kegirangan sekali menyanyikan lagu- lagu yang tak jelas lagu apa tampaknya ia karang sendiri.
“Masaru…” panggil sosok Saku, Masaru terdiam,”….Katanya mau ke taman bermain di Sapporo, kenapa masih belum siap- siap?” tanya sosok itu.
“Eh?? Benar kak!?”
“Iya, ini khan hari rabu? Bukannya kakak janji kita akan ke Sapporo Park Land?”
Masaru lalu bergegas berdiri ia buru- buru menutup foto kakaknya yang dibingkainya telah disematkan pita merah, tanda bahwa si pemilik foto itu telah tiada. Masaru lalu turun kebawah menuju kamarnya. Tampaknya ibunya dan Aki telah keluar rumah sebab rumah sepi sekali. Pikir Masaru, mereka pasti sedang belanja besar- besaran untuk menyambut pulangnya kak Saku.
Masaru memasuki kamarnya dan membuka lemarinya mencari baju secara terburu- buru sehingga baju- bajunya berserakan dimana- mana. Ia pilih setelan yang sama dengan setelan yang dikenakan kakaknya, walau sedikit berbeda tetapi bajunya hijau dan celana pendeknya berwarna krem. Saat keluar kamar, kak Saku sudah ada didepan ruang tamu menunggu Masaru.
“Sudah siap?” tanya Saku.
“Ya!” jawab Masaru dengan penuh semangat,”Itekimasu you! (Mari berangkat!)”.
Saku tertawa pelan lalu ia merangkul Masaru dan merekapun pergi keluar. Saat diluar sejenak Saku menatap sepeda miliknya.
“Kak Aki sering pinjam sepeda kakak kalau mau turun sekolah selama seminggu ini” ujar Masaru memberitahu kakaknya.
“Ya, dia sudah dapat ijin dariku” sergah Saku,”Tetapi... Hari ini kita tidak akan menggunakan sepeda, kita akan naik bis listrik, Masaru sudah lama mau naik bis itu khan?”.
“MAU MAU MAU” teriak Masaru.
Saku lalu mengangkat tubuh Masaru dan mendudukan Masaru dipundaknya.
“Apa tidak apa, kak? Kakak khan sakit?” tanya Masaru.
Saku terdiam sejenak lalu menjawab Masaru.
“Kakak sudah tidak bisa sakit lagi, kakak akan selalu sehat”
“Yak! Kak Saku memang hebat!” ujar Masaru sambil mengacungkan jempolnya.
Saku hanya tertawa geli melihat keluguan adiknya itu, merekapun pergi menuju tempat yang dijanjikan oleh Saku, mereka menaiki bis listrik dan Masaru senang sekali berada didalamnya terutama setelah bis itu bergerak. Dan merekapun tiba di taman bermain Sapporo.
“Kakak...” panggil Masaru.
“Apa?”
“Tamannya besar sekali, apa kakak punya uang?” tanyanya.
“Tenang saja, kakak menabung selama musim panas untuk hari ini lho” tegas Saku,”Nah, mari kita bersenang- senang hari ini!”
“YAAAA!”
Dan hari itupun dilalui Masaru dengan sangat menyenangkan, wajah tersenyumnya yang telah sirna selama seminggu ini telah kembali, bahkan mungkin ia menganggap bahwa dihari ini, minggu yang lalu, hari dimana ia seharusnya ada disini bersama kakaknya bukannya berada dipemakaman telah ia lupakan. Akhirnya saat ia dan kakaknya memasuki rumah bersejarah Masaru mengatakan sesuatu yang tak ingin didengar Saku walau ia terharu mendengarnya,
“Kakak setelah ini akan bersama kita seterusnya khan? Nanti kita kemari lagi khan?” desak Masaru.
Saku hanya tersenyum menjawabnya lalu ia menunjuk replika sarang burung dan anak- anaknya.
“Masaru, coba lihat burung- burung itu...” bisik Saku,”...Suatu saat mereka akan tumbuh dan dapat terbang dilangit”
“Apakah kak Saku sudah siap terbang seperti anak burung?” tanya Masaru dengan lugunya.
Saku kembali tersenyum dan mengangguk untuk menjawabnya.
“Aku juga mau terbang...” desah Masaru,”Tobi kata no shiranai dake (tetapi aku tak tahu caranya)” bisiknya sedih.
“Itakanai you (Jangan menangis ya)” bisik Saku.
“Kak aku lelah, kita pulang saja ya?” pinta Masaru.
“Ya, lagipula ini sudah sore...”
Masaru lalu digendong Saku, dan dalam perjalannan pulang Masaru tertidur dipunggung kakaknya itu. Saat masuk kerumah, disana ada Aki yang baru saja membereskan kamar Masaru yang tadi berantakkan. Aki terpaku ditengah lorong antara kamar Masaru dan ruang keluarga, ia terpaku pada sosok yang berdiri didepan pintu yang menggendong Masaru.
“Sa... Saku?...” desahnya tak bergerak dari tempatnya berdiri.
“Kaoiro ga aoi desu yo. Dou-ka shita no desu ka? (Wajahmu pucat. Ada sesuatu yang mengganggumu?)” sapa Saku.
“Kimi wo... Hontou ni Saku ka? (Dirimu... Benarkah kamu Saku?)” getirnya sambil berjalan mendekati Saku yang sedang meletakkan Masaru diatas sofa.
“Ini aku... Aku pulang sesaat untuk Masaru” jawab Saku.
“Hanya... Hanya untuk Masaru?” desah Aki.
“Aku... Seharusnya rabu lalu aku menepati janjiku kepada Masaru yang telah kujanjikan sejak awal musim panas... Aku tak pernah menjanjikannya upacara rabu lalu itu” jawab Saku menjelaskan semuanya.
Aki lalu memeluk tubuh Saku, ia terisak dalam pelukkannya.
“Semua yang disini tak mampu mempercayai kepergianmu, bila Dewa mengijinkanmu pulang hari ini mengapa kau tak bisa pulang selamanya?” bisik Aki.
“Karena janjiku pada anak yang masih kecil ini, mungkin Dewa tak ingin anak ini nantinya tak mau mengakui Dewa lagi karena kejadian ini” balas Saku.
Aki lalu mengendurkan pelukkannya dan ia mencium Saku selam yang ia sanggup, dan saat terpisah Saku melongo tak percaya.
“Jika begitu... Kuberikan kau tanda cinta yang belum sempat kau terima pada hari itu” sergah Aki.
“Aki... Aku...”
“Saku... Berapa lama lagi kau ada disini?” bisik Aki.
Saku hanya tersenyum mendengarnya, lalu ia merangkur Aki mengajaknya keruang keluarga dan duduk diteras menatap lagit- langit malam yang mulai dihiasi bintang- bintang yang berkelap- kelip.
“Kau tahu Aki bahwa semua makhluk hidup pasti akan mati?” sergah Saku.
“Tetapi... Apa kepergianmu tak terlalu cepat? Begitu singkat ku kenal dirimu namun tampak butuh lebih dari seumur hidup melupakanmu” desak Aki yang kini bersandar dibahu Saku.
“Paling tidak, sudah delapan belas tahun aku hidup... Dan penyakit ini tak pernah kupinta” bisik Saku.
Lalu merekapun terdiam sejenak, dan tak lama keheningan itupun pecah saat Megumi-san tiba diruang keluarga dan menjatuhkan bungkusan yang berisi bahan masakan, ia terkejut melihat sosok yang duduk disamping Aki yang sedang tersenyum kearahnya.
“Okaeri, Ka-san (Selamat pulang kembali, ibu)” sapa Saku.
Tak ayal, Megumi-san pun berlari memeluk tubuh Saku, diciuminya kepala dan wajah anaknya itu tak henti- hentinya.
“Astaga Dewa, ini benar dia (mencium kedua pipi Saku) Kau dengar do’aku setiap malam oh Dewa (mencium kening Saku)”
“Ibu, aku hanya pulang sesaat...” bisik Saku.
Megumi-san tersentak, ia berhenti menciumi anaknya itu, wajah bahagianya sirna, berubah menjadi wajah terkejut yang ia tampakkan saat dokter di rumah sakit mengabarkan kepergian Saku. Ia menatap tak percaya ke wajah anaknya.
“Pulang... Sesaat? Kenapa? Apakah Masaru?”
Saku hanya mengangguk menjawabnya.
“Ibu, jannganlah menangis lagi, biarkan aku pergi dengan tenang, bila ibu menangis terus sepanjang malam bagaimana aku bisa tenang?” bisik Saku.
Megummi-san hanya bisa terisak mendengarnya, ia tahu hal ini namun ia tak tahan akan kehilangan Saku setelah ia kehilangan suaminya saat Masaru masih berumur satu tahun.
Aki dan Megumi-san mulai tersentak saat Saku mulai memudar dan bau dupa tercium dimana- mana.
“Ibu, Aki... Aku harus pergi sekarang... Relakanlah aku.... Aki, kau teruskanlah hidupmu, jangan jadikan aku beban hidupmu...
...Semuanya...
...Selamat tinggal...
Dan setelah itu Saku pun menghilang dari hadapan mereka, dibawah bintang yang bersinar menghias langit Aki dan Megumi-san berpelukan terisak bersama.

Osaka, Mei, awal musim panas, setahun kemudian.

Seorang gadis dengan baju seragamnya tengah berdiri didepan sebuah makam batu bertuliskan ‘Yuuji Sakuhiro’, gadis itu adalah Hirose Aki yang diseragamnya tersematkan lambang kelas tiga SMA.
“Hari ini... Setahun sudah sejak aku menjadi kekasihmu... Dan genap dua tahun aku mengenalmu sejak awal kita di SMA... Saku, aku sudah lulus dan aku berencana akan kuliah di Amerika jurusan Kedokteran ilmu bedah... Pesan terakhirmupun masih ku ingat dengan jelas tetapi akan sangat sulit bagiku untuk mencari penggantimu... Masaru sekarang sudah masuk SD di Sapporo, ia sangat pandai hingga bisa lolos tes disekolah Negeri... Aku harus pergi Saku, pesawatku berangkat satu jam lagi... Aku akan kunjungi kau musim panas tahun depan lagi... Kau selalu dihati” bisik Aki sambil memegangi batu nisan makam Saku.
Yokata ne Aki, ittarashai...
(Baguslah Aki, semoga selamt sampai tujuan...)
Aki tersentak mendengarnya, ia tahu itu suara Saku, ia hanya bisa tersenyum lalu iapun berjalan keluar dari area pemakaman itu.